Dari sekian ragam peristiwa penting Islam, peristiwa hijrah sesungguhnya menempati
posisi yang utama.
Sebab, peristiwa ini bukan saja menandai babak baru penanggalan Islam yang ditetapkan oleh Umar bin Khattab, melainkan juga menjadi titik balik peradabanIslam terkonstruksi dengan gemilang. Karena itulah, setiap tahunnya kita memperingati peristiwa hijrah sebagai tahun baru Islam. Harapannya, tentu di samping
memutar kembali klise peristiwa fenomenal itu, juga mencoba memunguti makna hijrah secara aktual dan kontekstual.
Historisitas Hijrah
Peristiwa hijrah bermula dari kegelisahan Rasulullah sewaktu menyaksikan derita umat Islam yang datang bertubi-tubi akibat
tindakan represif kaum Quraisy. Penderitaan itu menjadi hal yang wajar ketika Rasulullah meneriakkan revolusi moralitas dan religiusitas masyarakat Makkah yang
sudah jauh melampaui batas kewajaran. Rasulullah memperjuangkan Keesaan Allah SWT dan pembebasan dari
ketertindasan, sementara kaum Quraisy berusaha mati-matian melanggengkan kemapanan
yang menguntungkan.
Tak pelak, Rasulullah dengan Alquran dipandang sebagai ancaman serius bagi kelangsungan kenikmatan kuasa kaum Quraisy. Karena itu, tak ada pilihan lain bagi kaum Quraisy kecuali melenyapkan Rasulullah, setidaknya menyurutkan perjuangan Rasulullah.
Rasulullah sempat berkata,"Seandainya matahari ditaruh di tangan kananku dan
bulan di tangan kiriku, aku takkan mundur." Namun, siksaan dan penderitaan
yang dilancarkan oleh kaum Quraisy terhadap Rasulullah dan pengikutnya sudah
mendekati titik yang tidak manusiawi.
Akhirnya, pada tahun 622 M, menyadari penderitaan yang selalu dialami kaum muslim dan juga untuk memenuhi undangan penduduk Yasrib (sekarang Madinah), sebuah kota 280 mil dari Kota Makkah, Rasulullah beserta pengikutnya berangkat untuk melakukan eksodus penyelamatan yang nantinya dikenal dengan sebutan hijriyah.
Di kota inilah titik awal peradaban Islam dibangun.
Madinat an-Nabi yang selanjutnya menjadi nama pengganti kota Yasrib merupakan
monumen sejarah kebangkitan peradaban baru Islam.
Puncak kegemilangan sejarah Islam lewat momen hijriyah patut dibilang sebagai
sebuah revolusi tanpa kekerasan yang pertama kali dalam sejarah. Dalam waktu
yang cukup singkat Rasulullah mampu mengubah wajah Kota Madinah dari pola
masyarakat yang diskriminatif, primordialis-fanatis dan eksklusif menjadi
masyarakat yang terbuka, egaliter, dan penuh dengan nilai-nilai persaudaraan.
Kota Madinah yang awalnya selalu diselimuti oleh pertentangan antarsuku menjadi
komunitas yang dipenuhi oleh semangat kolektif untuk membentuk peradaban baru.
Rasulullah tidak hanya sukses membangun peradaban baru Islam
tetapi juga mampu membangun islam dalam satu racikan
peradaban Madinah. Rasulullah tidak hanya tampil sebagai seorang agamawan yang
selalu mendermakan pesan spiritualnya, tetapi ia juga tampil sebagai negarawan
yang adil dan bijaksana. Islam telah didudukkan tidak hanya sebagai agama yang
berisi panduan ritual, tetapi juga sebagai etik-moral yang selalu hidup di
tengah masyarakat.
Menyadari keagungan sejarah "hijrah" ini maka tidak khilaf apabila umat Islam menetapkan tahun barunya dengan merujuk pada sejarah hijriyah. Hal ini mempunyai arti bahwa lembaran baru Islam tidak dibuka dengan keagungan seorang tokoh semisal dengan memperingati kelahiran Nabi. Akan tetapi, Islam mengawali setiap lembaran barunya dengan semangat kelahiran peradaban baru Islam di Madinah.
Apa yang diharapkan dengan dijadikannya hijriyah sebagai tahun baru Islam? Pada tanggal 1 Muharram 1427 —yang bertepatan dengan 31 Januari 2006—kembali umat Islam memperingati sejarah sucinya. Sudah seribu empat ratus dua puluh tujuh tahun peristiwa ini berlalu. Namun, semenjak itu pula semangat hijriyah tidak pernah usang dimakan zaman karena selalu disegarkan dengan peringatan dan perayaan setiap tahunnya. Oleh karenanya, setiap kali umat Islam merayakan tahun barunya seketika itu pula semangat umat Islam disegarkan.
Setiap tahun kaum muslim kembali diingatkan dengan memori keemasan sejarahnya. Dan, setiap tahun pula semangat dan makna hijriyah ini akan menjadi kekuatan yang merevitalisasi dan mampu mendorong semangat umat Islam. Tentunya semangat hijrah diharapkan mampu menjadi semangat baru bagi umat Islam dalam memulai sejarahnya pada detik ini dan pada masa selanjutnya. Karenanya, makna hijriyah harus terinternalisasi dalam diri kita dan diolah menjadi sikap yang luhur dan dinamis dalam menata masa depan yang lebih baik.
Aktualisasi Makna Hijriyah
Hijrah Muhammad
hampir memiliki kesamaan dengan peristiwa hijrahnya Musa dari negeri Firaun.
Peristiwa ini juga menjadi catatan sejarah suci bagi umat Yahudi yang
diperingati dengan perayaan Paskah. Sejarah dimulainya peradaban baru Yahudi
juga dimulai pada titik hijrah ini. Tampaknya hijrah menjadi hukum sejarah yang
wajib dilalui dalam rangka membangun sebuah peradaban baru.
Ibrahim meninggalkan rumahnya di Ur untuk "hijrah" ke Kan'an. Di situlah Ibrahim membangun peradabannya. Zaman kebesaran Yusuf dimulai ketika beliau hijrah ke negeri Mesir. Di situ pula Yusuf mengukir kebesarannya. Atau mungkin seorang Buddha harus rela hijrah meninggalkan kerajaannya yang berlimpah harta hanya semata-mata untuk membangun peradaban spiritual baru. Dengan tanpa membesar-besarkan rentetan peristiwa hijrah tersebut tampaknya hijriyah seakan menjadi semacam syarat utama untuk menggapai sebuah perubahan.
Bangsa Indonesia saat ini telah disiksa oleh berbagai-bagi penderitaan. Pelbagai bencana alam tak kunjung reda. Wabah penyakit menggurita di mana-mana. Enam puluh juta lebih rakyat Indonesia berkubang dalam jurang kemiskinan.
Tahun baru hijriyah sudah semestinya menjadi momentum untuk merenungkan kembali eksistensi bangsa Indonesia di titik paling nadir. Untuk itulah, hijriyah yang diperingati oleh umat Islam dan juga bangsa Indonesia kali ini diharapkan menjadi refleksi panjang bangsa ini untuk merajut perubahan yang sebenarnya, yang subtantif, produktif dan populistik. Semangat hijrah akan menjadi modal untuk mengembalikan kegairahan inisiatif perubahan tersebut. Oleh karenanya, sangat rugi dan sia-sia apabila hijriyah yang akan kita peringati bersama hanya sebatas pada refleksi seremonial.
Pada momen ini bangsa Indonesia berkesempatan untuk menguak makna dan semangat hijriyah bagi keberadaban dirinya sendiri. Hijrah berarti pula berubah untuk membangun peradaban baru seperti Nabi meninggalkan Makkah dan membentuk komunitas baru yang berperadaban. Semoga bangsa Indonesia mampu "hijrah" dari penderitaan yang membelitnya menuju bangsa yang berkeadaban.
Sumber: klik disini