Pernikahan merupakan gerbang membangun suatu rumah
tangga. Dengan melakukan akad nikah, maka sesuatu yang sebelumnya haram menjadi
halal, bahkan menjadi amalan ibadah yang bernilai pahala besar disisi Allah
Ta’ala. Pada kesempatan ini, kami akan mengulas sedikit tentang fikih seputar
pernikahan.
Definisi Nikah
Nikah secara syar’i adalah suatu akad yang mengandung
konsekuensi dibolehkannya pasangan suami istri untuk bersenang-senang antara
satu dengan yang lainnya dengan cara yang diizinkan oleh syari’at.
Dalil disyari’atkannya nikah
Dasar dari disyari’atkannya pernikahan adalah
berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’. Dalil dari Al Qur’an diantaranya
firman Allah Ta’ala (yang artinya), ”Dan nikahkanlah orang-orang yang masih
sendiri diantara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari
hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah
akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui” (QS. An Nur : 32).
Begitu pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
”Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu menanggung nafkah,
hendaknya dia menikah” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan nikah merupakan
sunnahnya para rasul, sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan” (QS. Ar Ra’d : 38).
Hikmah Pernikahan
Pernikahan mengandung hikmah yang sangat besar. Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (QS. Ar Ruum : 21).
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan hikmah dari pernikahan
yaitu agar terwujud ketentraman dan ketenangan ketika seseorang bersama
istrinya. Selain itu, dengan menikah akan lebih terjaga kemaluan, menjaga nasab,
dan memperbanyak jumlah kaum muslimin.
Kriteria calon istri
Dianjurkan menikahi perempuan yang memiliki agama yang
baik, yaitu perempuan yang paling baik dalam mengamalkan ilmunya. Tidak hanya
pandai dalam hal pengetahuan saja, namun juga baik dalam hal amalnya. Kriteria
lain adalah perempuan yang pandai menjaga kehormatan, berasal dari keluarga dan
nasab yang baik, serta memiliki kecantikan. Sebagaimana hadits dari Abu
Hurairah, Nabi bersabda, “Perempuan dinikahi karena 4 hal: hartanya, nasabnya,
kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah yang baik agamanya. Jika tidak,
niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ibnu Hajar menjelaskan, sudah seharusnya kriteria agama
menjadi pertimbangan utama dalam segala urusan. Terlebih lagi dalam memilih
seorang istri. Nabi memerintahkan kepada kita untuk mendapatkan pasangan yang
baik agamanya, karena agama yang baik merupakan puncak dari yang dikehendaki
syari’at (lihat Fathul Bari). Oleh karena itu seseorang harus menjadikan kriteria
agama sebagai asas dalam memilih pasangan, bukan kriteria yang lain. Namun jika
bisa mengumpulkan beberapa faktor sekaligus, misalnya seseorang mendapatkan
calon istri yang baik agamanya, cantik wajahnya, santun akhlaknya, serta
berasal dari keturunan yang baik, maka hal tersebut adalah nikmat besar dari
Allah yang wajib untuk disyukuri.
Selain itu, Rasulullah menganjurkan untuk memilih calon
istri yang subur (tidak mandul) sebagaimana sabda Rasulullah, “Menikahlah
kalian dengan perempuan yang sangat penyayang dan subur, karena sesungguhnya
aku akan berbangga dengan banyaknya umatku pada hari kiamat” (HR. Abu Dawud dan
An Nasaa-i. Al Albani mengatakan, “hasan shahih”).
Khitbah (lamaran)
Setelah seseorang telah menentukan calon istrinya, maka
diperbolehkan baginya untuk melamar calon istrinya tersebut. Khitbah / lamaran
adalah menampakkan keinginan untuk menikah dengan perempuan tertentu dan
memberitahu pihak wali dari perempuan tentang keinginannya tersebut. Islam
mengatur adab-adab yang berkaitan dengan lamaran, beberapa diantaranya adalah
sebagai berikut :
1. Haram melamar wanita yang sudah dilamar oleh saudara
muslim yang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah
seorang laki-laki melamar wanita yang telah dilamar saudaranya, hingga
saudaranya itu menikahinya atau meninggalkannya” (HR. Bukhari). Yaitu lamaran
yang telah mendapatkan tanggapan positif walaupun hanya berupa isyarat. Namun
jika lamaran tersebut belum jelas diterima atau tidak, maka tidak mengapa bagi
laki-laki lain untuk melamar perempuan yang sama (lihat Fathul Bari).
2. Tidak boleh secara terang-terangan melamar perempuan
dalam kondisi ‘iddah karena berpisah dengan suaminya (baik karena perceraian
talak tiga atau meninggal). Namun diperbolehkan memberikan isyarat kepada
perempuan tersebut. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Dan tidak ada
dosa bagi kamu meminang wanita-wanita (yang masih dalam masa ‘iddah) itu dengan
sindiran” (QS Al. Baqarah : 235). Misalnya seorang laki-laki mengatakan kepada
perempuan yang baru saja ditinggal mati suaminya dengan perkataan, “Aku
berharap agar Allah memberikan kemudahan bagiku untuk memiliki istri yang
shalihah”, tanpa menyebut nama perempuan tersebut.
3. Lamaran adalah semata-mata janji untuk menikah
sebagai permulaan untuk menuju pernikahan. Sehingga seorang yang sudah melamar,
status hubungannya masih sebagaimana laki-laki dan perempuan yang ajnabi (bukan
mahrom). Tidak boleh berdua-duaan dan bersentuhan satu dengan yang lainnya.
4. Dianjurkan bagi laki-laki yang hendak menikahi
perempuan untuk melihat perempuan tersebut dari bagian tubuh yang biasa
terlihat yaitu wajah dan telapak tangan. Sebagaimana hadits dari Jabir
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika
salah seorang diantara kalian hendak melamar perempuan, maka jika dia mampu
untuk melihat bagian badannya (yang biasa terlihat) yang mendorongnya untuk
menikahinya, maka lakukanlah” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Hakim, Shahih).
Syarat dan Rukun Nikah
Pernikahan memiliki syarat dan rukun yang harus
dipenuhi. Jika tidak, maka pernikahan tersebut tidak sah. Syarat yang harus
dipenuhi dalam pernikahan adalah sebagai berikut :
1. Harus diketahui secara jelas nama atau sifat dari
masing-masing pasangan yang akan menikah. Tidak boleh seorang wali menikahkan
anaknya dengan perkataan umum, seperti “Saya nikahkan engkau dengan salah
seorang putriku”, padahal ia memiliki anak lebih dari satu dan semua belum
menikah. Oleh karena itu harus disebutkan secara jelas seperti dengan nama atau
sifat yang bisa membedakan antara anak-anaknya.
2. Keridhoan dari laki-laki dan perempuan yang akan
menikah untuk menerima calon pasangannya masing-masing. Maka tidak sah nikah
dalam keadaan terpaksa sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Seorang janda tidak dinikahkan sehingga dimintai perintahnya. Dan
seorang gadis tidak dinikahkan sehingga dimintai izinnya” (HR. Bukhari dan
Muslim)
3. Adanya wali perempuan. Tidak boleh menikahkan seorang
perempuan kecuali walinya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Tidak ada nikah kecuali dengan wali” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, dan
Ibnu Majah, Shahih). Syarat bagi wali adalah seorang laki-laki, baligh,
berakal, merdeka, dan secara umum baik agamanya (bukan orang fasik)
4. Adanya dua orang saksi. Tidak sah akad nikah kecuali
dengan adanya dua orang saksi yang beragama Islam, baligh, dan secara umum baik
agamanya (bukan orang fasik). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang baik
agamanya. Jika tidak ada kedua hal tersebut, maka akad nikahnya tidak sah” (HR.
Ibnu Hiban, dinilai shahih oleh Ibnu Hazm)
5. Tidak adanya penghalang yang menghalangi sahnya
pernikahan, baik dari nasab (yang tidak boleh dinikahi), saudara persusuan,
perbedaan agama, dan sebab-sebab yang lainnya.
Sedangkan rukun nikah yang harus dipenuhi adalah sebagai
berikut :
1. Dua orang yang melakukan akad nikah, yaitu calon
pasangan suami istri.
2. Ijab, yaitu ucapan yang berasal dari wali nikah
perempuan atau orang yang menggantikannya.
3. Qobul, yaitu ucapan yang berasal dari pengantin
laki-laki. Ijab harus terlebih dahulu dilakukan sebelum Qobul.
Mahar dan Walimatul ‘urs
Salah satu kewajiban yang harus diberikan suami kepada
istrinya adalah mahar. Mahar adalah harta yang wajib diserahkan suami kepada
istrinya karena sebab akad nikah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka
isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban” (QS. An Nisa
: 24). Sedangkan untuk besarnya nilai mahar, maka tidak ada batasan minimal
atau maksimal nilai suatu mahar. Kaidahnya adalah segala sesuatu yang sah
dijadikan alat transaksi jual beli atau alat pembayaran sewa menyewa, maka ia
sah untuk dijadikan mahar.
Setelah pelaksanaan akad nikah dianjurkan (menurut
mayoritas ulama) untuk mengadakan walimah, yaitu makanan yang disuguhkan untuk
tamu undangan karena suatu acara pernikahan. Sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang baru saja
menikah, ”Adakan walimah walaupun dengan seekor kambing” (HR. Bukhari dan
Muslim). Semoga Allah Ta’ala memberikan kepada kita pasangan yang shalih dan
shalihah, yang menjadi sebab mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Referensi utama : Al Fiqh Al Muyassar Fii Dhouil Kitaabi
Was Sunnah