Rasulullah SAW bersabda : “Betapa banyak orang yang berpuasa (tapi) tak
memperoleh apa-apa dari puasanya selain rasa lapar dan betapa banyak orang yang
melakukan qiyâmullail (tapi) tak memperoleh apa-apa kecuali sekadar mengantuk
karena bangun sepanjang malam”.(HR. Ibnu Majah dan an-Nasa’I dari Abu
Huraitah)
Namun, setiap kali usai kita menunaikan ibadah puasa, nampaknya
terasa ada saja yang kurang sempurna dalam pelaksanaannya, semoga poin-poin
kesalahan yang acap kali masih terulang dan menghinggapi sebagian besar umat
ini dapat memberi kita arahan dan panduan agar puasa kita tahun ini, lebih
paripurna dan bermakna.
1. Merasa sedih, malas, loyo dan tak bergairah menyambut bulan
suci Ramadhan
Acapkali perasaan malas segera menyergap mereka yang enggan
menahan rasa payah dan penat selama berpuasa. Mereka berasumsi bahwa puasa
identik dengan istirahat, break dan aktifitas-aktifitas non-produktif lainnya,
sehingga ini berefek pada produktifitas kerja yang cenderung menurun. Padahal
puasa mendidik kita untuk mampu lebih survive dan lebih memiliki daya tahan
yang kuat. Sejarah mencatat bahwa kemenangan-kemenangan besar dalam futuhaat (pembebasan
wilayah yang disertai dengan peperangan) yang dilancarkan oleh Rasul dan para
sahabat, terjadi di tengah bulan Ramadhan.
Semoga ini menjadi motivator bagi kita semua, agar tidak
bermental loyo dan malas dan tidak berlindung di balik kata “Aku sedang puasa”.
2. Berpuasa tapi enggan melaksanakan shalat
fardhu lima waktu
Ini penyakit yang –diakui atau tidak– menghinggapi
sebagian umat Islam, mereka mengira bahwa Ramadhan cukup dijalani dengan puasa
semata, tanpa mau repot mengiringinya dengan ibadah shalat fardhu. Padahal
shalat dan puasa termasuk rangkaian kumulatif (rangkaian yang tak terpisah/satu
paket) rukun Islam, sehingga konsekwensinya, bila salah satunya dilalaikan,
maka akan berakibat gugurnya predikat “Muslim” dari dirinya.
3. Berlebih-lebihan dan boros dalam menyiapkan dan menyantap
hidangan berbuka serta sahur
Ini biasanya menimpa sebagian umat yang tak kunjung dewasa dalam
menyikapi puasa Ramadhan, kendati telah berpuluh-puluh kali mereka melakoni
bulan puasa tetapi tetap saja paradigma mereka tentang ibadah puasa tak kunjung
berubah. Dalam benak mereka, saat berbuka adalah saat “balas dendam” atas
segala keterkekangan yang melilit mereka sepanjang + 12 jam sebelumnya, tingkah
mereka tak ubahnya anak berusia 8-10 tahun yang baru belajar puasa kemarin
sore.
4. Berpuasa tapi juga melakukan ma’siat
Asal makna berpuasa bermakna menahan diri dari segala aktifitas,
dalam Islam, ibadah puasa membatasi kita bukan hanya dari aktifitas yang
diharamkan di luar Ramadhan, bahkan puasa Ramadhan juga membatasi kita dari
hal-hal yang halal di luar Ramadhan, seperti; Makan, minum, berhubungan
suami-istri di siang hari.
Kesimpulannya, jika yang halal saja kita dibatasi, sudah barang
tentu hal yang haram, jelas lebih dilarang.
Sehingga dengan masa training selama sebulan ini akan mendidik
kita menahan pandangan liar kita, menahan lisan yang tak jarang lepas kontrol,
dan sebagainya.
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ
بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.
“Barang siapa yang belum mampu meninggalkan perkataan dosa
(dusta, ghibah, namimah dan lain-lain) dan perbuatan dosa, maka Allah tak
membutuhkan makanan dan minumanan (puasanya) [pahala puasanya tertola]). (HR
al-Bukhari dari Abu Hurairah)
5. Sibuk makan sahur sehingga melalaikan shalat shubuh,
sibuk berbuka sehingga melupakan shalat maghrib
Para pelaku poin ini biasanya derivasi dari pelaku poin 3,
mengapa ? Sebab cara pandang mereka terhadap puasa tak lebih dari ; “Agar
badan saya tetap fit dan kuat selama puasa, maka saya harus makan banyak, minum
banyak, tidur banyak sehingga saya tak loyo”. Kecenderungan terhadap
hak-hak badan yang over (berlebihan).
6. Masih tidak merasa malu membuka aurat (khusus wanita
muslimah)
Sebenarnya momen Ramadhan bila dijalani dengan segala kerendahan
hati, akan mampu menyingkap hijab ketinggian hati dan kesombongan sehingga
seorang Muslimah akan mampu menerima segala tuntunan dan tuntutan agama ini
dengan hati yang lapang. Menutup aurat, misalnya, akan lebih mudah direalisasi
ketimbang di bulan selain Ramadhan. Mari kita hindari sifat-sifat nifaq yang
pada akhir-akhir ini sangat diumbar dan dianggap sah, Ramadhan serba tertutup,
saat lepas Ramadhan, lepas pula jilbabnya, inilah sebuah contoh pemahaman agama
yang parsial (setengah-setengah), tidak utuh.
7. Menghabiskan waktu siang hari puasa dengan tidur berlebihan
Barangkali ini adalah akibat dari pemahaman yang kurang tepat
dari sebuah hadits Rasul yang berbunyi “Tidurnya orang yang berpuasa
adalah ibadah” Memang selintas prilaku tidur di siang hari adalah sah
dengan pedoman hadits diatas, namun tidur yang bagaimana yang dimaksud oleh
hadits diatas? Tentu bukan sekedar tidur yang ditujukan untuk sekedar
menghabiskan waktu, menunggu waktu ifthar (berbuka) atau sekedar
bermalas-malasan, sehingga tak heran bila sebagian -besar- umat ini bermental
loyo saat berpuasa Ramadhan.
Lebih tepat bila hadits diatas difahami dengan; Aktifitas tidur ditengah
puasa yang berpahala ibadah adalah bila ;
·
Tidur proporsional
tersebut adalah akibat dari letih dan payahnya fisik kita setelah beraktifitas;
Mencari rezeki yang halal, beribadah secara khusyu’ dan
sebagainya.
·
Tidur proporsional
tersebut diniatkan untuk persiapan qiyamullail (menghidupkan saat malam hari
dengan ibadah)
·
Tidur itu diniatkan
untuk menghindari aktifitas yang –bila tidak tidur- dikhawatirkan akan
melanggar rambu-rambu ibadah Ramadhan, semisal ghibah (menggunjing),
menonton acara-acara yang tidak bermanfaat, jalan-jalan untuk cuci mata dan
sebagainya.
Pemahaman hadits diatas nyaris sama dengan pemahaman hadits yang
menyatakan bahwa bau mulut orang yang berpuasa lebih harum daripada
minyak misk (wangi) disisi Allah, bila difahami selintas maka
akan menghasilkan pengamalan hadits yang tidak proporsional, seseorang akan
meninggalkan aktifitas gosok gigi dan kebersihan mulutnya sepanjang 29 hari
karena ingin tercium bau wangi dari mulutnya, faktanya bau mulut orang yang
berpuasa tetap saja akan tercium kurang sedap karena faktor-faktor alamiyah,
adapun bau harum tersebut adalah benar adanya secara maknawi tetapi bukan
secara lahiriyah, secara fiqh pun, bersiwak atau gosok gigi saat puasa adalah
mubah (diperbolehkan)
8. Meninggalkan shalat tarwih tanpa udzur/halangan
Benar bahwa shalat tarawih adalah sunnah tetapi bila dikaji
secara lebih seksama niscaya kita akan dapatkan bahwa berpuasa Ramadhan minus
shalat tarawih adalah suatu hal yang disayangkan, mengingat amalan sunnah di
bulan ini diganjar sama dengan amalan wajib.
9. Masih sering meninggalkan shalat fardhu 5 waktu secara
berjama’ah tanpa udzur/halangan (terutama untuk laki-laki muslim)
Hukum shalat fardhu secara berjama’ah di masjid di kalangan
para fuqaha’ adalah fardhu kifayah, bahkan ada
yang berpendapat bahwa hukumnya adalah fardhu ‘ain, berdasarkan
hadits Rasulullah SAW yang mengisahkan bahwa beliau rasanya ingin membakar
rumah kaum Muslimin yang tidak shalat berjama’ah di masjid, sebagai sebuah
ungkapan atas kekecewaan beliau yang dalam atas kengganan umatnya pergi ke
masjid.
10. Bersemangat dan sibuk beribadah sunnah selama Ramadhan
tetapi setelah Ramadhan berlalu, shalat fardhu lima waktu masih tetap saja
dilalaikan
Ini pun contoh dari orang yang tertipu dengan Ramadhan, hanya
sedikit lebih berat dibanding poin-poin diatas. Karena mereka Hanya beribadah
di bulan Ramadhan, itupun yang sunnah-sunnah saja, semisal shalat tarawih, dan
setelah Ramadhan berlalu, berlalu pula ibadah shalat fardhunya.
11. Semakin jarang membaca Al Qur’an dan maknanya
12. Semakin jarang bershadaqah
13. Tidak termotivasi untuk banyak berbuat kebajikan
14. Tidak memiliki keinginan di hatinya untuk memburu malam
Lailatul Qadar
Poin nomor 8, 10, 11, 12 dan 13 secara umum, adalah
indikasi-indikasi kecilnya ilmu, minat dan apresiasi yang dimiliki oleh
seseorang terhadap bulan Ramadhan, karena semakin besar perhatian dan apresiasi
seseorang kepada Ramadhan, maka sebesar itu pula ibadah yang dijalankannya
selama Ramadhan.
15. Biaya belanja dan pengeluaran ( konsumtif ) selama bulan
Ramadhan lebih besar & lebih tinggi daripada pengeluaran di luar bulan
Ramadan (kecuali bila biaya pengeluaran itu untuk shadaqah)
16. Lebih menyibukkan diri dengan belanja baju baru, camilan
& masak-memasak untuk keperluan hari raya pada 10 hari terakhir bulan
Ramadhan
17. Lebih sibuk memikirkan persiapan hari raya daripada
amalan puasa
Mereka lebih sibuk apa yang dipakai di hari raya dibanding
memikirkan apakah puasanya pada tahun ini diterima oleh Allah Ta’aala atau
tidak Orang-orang yang biasanya mengalami poin-poin nomor 14, 15 dan 16 adalah
orang-orang yang tertipu oleh “fatamorgana Ramadhan”, betapa tidak ? Pada
hari-hari puncak Ramadhan, mereka malah menyibukkan diri mereka dan keluarganya
dengan belanja ini-itu, substansi puasa yang bermakna menahan diri, justru
membongkar jati diri mereka yang sebenarnya, pribadi-pribadi “produk Ramadhan”
yang nampak begitu konsumtif, memborong apa saja yang mereka mampu beli. Tak
terasa ratusan ribu hingga jutaan rupiah mengalir begitu saja, padahal di luar
Ramadhan, belum tentu mereka lakukan. Semoga sentilan yang menyatakan bahwa
orang Islam tidak konsisten dengan agamanya, karena di bulan Ramadhan yang
seharusnya bersemangat menahan diri dan berbagi, ternyata malah memupuk
semangat konsumerisme dan cenderung boros, dapat menggugah kita dari
“fatamorgana Ramadhan”.
Semoga Allah menganugerahi kita dengan rahmat-Nya, sehingga
mampu menghindari kesalahan-kesalahan yang kerap kali menghinggapi mayoritas
umat ini, amin. Hanya dengan keikhlasan, perenungan dan napak tilas Rasul,
insya Allah kita mampu meng-up grade (naik kelas) puasa kita
0 comments:
Post a Comment